Prabowo Subianto, bukanlah seorang suci. Selama 24 tahun, ia menjadi anggota militer Indonesia, yang dengan setia mematuhi perintah-perintah presiden. Ia membina Kopassus untuk memerangi pemberontakan dan terorisme dalam negeri. Prabowo juga menikah dengan putri kedua Soeharto dan ia menikmati kekayaan, kekuasaan, dan kebebasan dari tanggung jawab yang dimiliki oleh keluarga presiden. Ia mengakui penculikan sembilan aktivis pada permulaan 1998, yang beberapa di antaranya mengalami penyiksaan. Kira-kira 12 orang lainnya yang diduga diculik dalam operasi yang sama masih belum diketahui keberadaannya.
Tetapi, apakah Prabowo itu iblis ? Di bulan Agustus 1998, DKP (Dewan Kehormatan Perwira) menyatakan Prabowo Subianto bersalah dalam menafsirkan perintah dan direkomendasikan untuk dikenakan sanksi atau dihadapkan ke pengadilan militer, Prabowo kemudian dipecat. Dalam laporannya di bulan Oktober 1998, mengenai kerusuhan bulan Mei, TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) meminta agar ia diperiksa mengenai ketersangkutannya dalam kerusuhan-kerusuhan itu. Sejak itu media massa Indonesia dan luar negeri mengaitkan namanya dengan kata-kata seperti “rencana jahat”, kejam dan sembrono, “seorang fanatik yang haus kekuasaan”.
Sebuah surat kabar Asia menulis: “Ia disebut benci pada orang Cina.” Keyakinan bahwa dialah yang mencetuskan kerusuhan-kerusuhan dan gagal mengekangnya telah masuk ke dalam buku-buku sejarah. “Sayalah monster di belakang segala-galanya,” kata Prabowo dengan ironi yang tidak disembunyikannya.
Kendati begitu, hampir dua tahun setelah Soeharto mengundurkan diri, belum juga ada bukti yang mengemuka yang menghubungkannya dengan kerusuhan-kerusuhan yang memicu pengunduran diri itu. Gambaran lengkap dari hari-hari itu masih saja kabur oleh cerita-cerita yang saling bertentangan dan narasumber­-narasumber yang tidak disebut namanya. Di bulan September 1998, Marzuki Darusman, yang pada waktu itu Ketua TGPF dan sekarang Jaksa Agung, mengungkapkan renungannya kepada wartawan: “Saya kira masalahnya bukan hanya sekedar Prabowo. Saya akui ia adalah pemegang rahasia yang ketat. Dan mungkin ia cenderung mengungkapkan sedikit kalau terpaksa. Prabowo telah diadili oleh opini publik dan dinyatakan bersalah. Tetapi ia tidak pernah mendapat kesempatan untuk memberikan kesaksiannya.
Apa yang muncul dari uraian Prabowo sendiri, dirangkaikan dengan penyelidikan independen yang dilakukan Asiaweek, adalah kisah yang jauh berbeda, lebih bernuansa daripada penilaian yang sejauh ini diterima di kalangan luas bahwa kejatuhan Soeharto bermula pada pertarungan antara yang baik dan yang jahat, -dan bahwa Prabowo adalah sang penjahat.
Kisah ini adalah laporan dari dan tentang elite politik Indonesia, suatu pengungkapan mengenai sifat perubahannya yang berbahaya dan kompleksitas para pelakunya. Laporan ini menentang apa yang selama ini diterima oleh banyak pihak mengenai negeri ini: militernya, keluarga penguasa yang lalu, sejarahnya. Keputusan apapun yang Anda simpulkan, Anda tidak akan mungkin lagi melihat kejatuhan Soeharto di masa lampau -atau kecaman-kecaman pedas dan konflik-konflik yang berkecamuk sekarang ini- dengan cara yang sama.
Keruntuhan rupiah yang mulai pada bulan Oktober 1997, telah mendatangkan gelombang-gelombang keresahan sosial di seluruh Nusantara. Januari berikutnya, sebuah bom meledak di sebuah apartemen di Jakarta yang dihuni oleh anggota-anggota PRD terlarang. Pihak militer berusaha keras menghadapi demonstrasi-demonstrasi mahasiswa yang vokal. Beberapa aktivis menghilang secara misterius. Pada tanggal 27 April, Pius Lustrilanang mengungkapkan di depan umum -yang pertama diungkapkan oleh para aktivis yang diculik- mengenai penculikan dan pengurungan dirinya selama dua bulan. Ketika diinterograsi, kata Lustrilanang, ia disetrum dan dibenamkan dalam air. Sekalipun Wiranto membantah dengan mengatakan bahwa penculikan itu bukan kebijakan militer, namun kecurigaan rakyat ditujukan kepada militer, dan terutama Kopassus yang pada waktu itu masih diidentikkan dengan Prabowo.
Walaupun ia punya reputasi setia kepada Soeharto. Prabowo juga terus berteman dengan para pengecam rezim “Orde Baru”. Mereka ini berkisah sejak dari Jenderal Nasution yang dikecewakan, yang sezaman dengan Soeharto sampai kepada Adnan Buyung Nasution yang turut mendirikan Lembaga Bantuan Hukum, yang membela dan membantu para aktivis anti-Soeharto. Prabowo membina hubungan pula dengan tokoh-tokoh Islam yang merasa sebagai korban ketidakadilan militer yang dipengaruhi Kristen dan pemerintah, maupun merasa dikucilkan dalam perekonomian yang didominasi etnis Cina. Di antara mereka adalah: Amein Rais, seorang profesor Yogyakarta yang serangan-serangannya terhadap kekuatan Kristen dan modal Cina berubah jadi kecaman terbuka terhadap Soeharto. Hubungan-hubungan Prabowo yang tidak konvensional dan keakrab-annya dengan Habibie, membuatnya unik bila dibandingkan dengan orang-orang lain yang mengelilingi Soeharto.
TGPF merekomendasikan untuk memeriksa mantan Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto dan sohibnya mantan Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin; serta menyelidiki pertemuan 14 Mei 1998 di Makostrad. Tak pelak, laporan TGPF itu menyudutkan Prabowo dan gangnya. Dari penyebutan nama saja, tak kurang dari 11 kali nama Prabowo disebut dalam laporan itu.  Nama temannya, Sjafrie, muncul empat kali. Sedangkan Wiranto hanya sekali. Maka, tak heran, bila The Rising Star yang juga disebut The Golden Boy oleh rivalnya di militer pun makin terpuruk. Apalagi sebelumnya ia  sudah diberhentikan dari dinas militer sebagai jenderal berbintang tiga dalam usia yang masih 47 tahun. Yang lebih menyedihkan, pendapat publik sudah memvonisnya sebagai dalang di balik penculikan para aktivis dan kerusuhan massa. Belum cukup, berbagai julukan seram pun terpaksa harus ia telan. Mulai dari tuduhan anti-Cina, dalang kerusuhan di berbagai tempat di tanah air, dan setumpuk tuduhan lainnya. Pendeknya, ia dianggap sebagai monster menakutkan yang berperan di setiap kejahatan. Sampai-sampai, ayahnya, Profesor Soemitro Djojohadikusumo mengeluh, “Kalau ada ayam tetangga hilang, jangan-jangan Prabowo juga yang dituduh sebagai biang keroknya,” ujarnya suatu ketika.
Menurut Prabowo Subianto, banyak kejadian seputar penculikan aktivis dan kerusuhan yang masih jadi teka-teki. Misalnya saja tindakan Wiranto yang tetap membawa jenderal-jenderal ke Malang menghadiri acara pelantikan pasukan pemukul reaksi cepat Kostrad. Padahal, saat itu ibu kota dalam keadaan genting. Nah, fakta-fakta itu, menurut Fadli Zon, harus dicek lagi. Begitu juga dengan penculikan aktivis. Pasalnya, “Semua orang tahu bahwa itu merupakan operasi intelejen,” cetusnya. Dan, operasi intelejen sifatnya institusional. Artinya, diketahui atasan.  Dalam hal ini atasan Prabowo adalah Wiranto sebagai KSAD dan kemudian Pangab. Begitupun, lanjut Fadli, Prabowo secara ksatria mengaku bertanggung jawab atas penculikan sembilan orang aktivis (meski aktivis yang diculik ada belasan). Padahal, sebagai Danjen Kopassus kala itu, ia hanya menyediakan prajurit Kopassus yang diminta Pangdam Jaya untuk di-BKO-kan ke Kodam. Dan, sebetulnya, tak hanya prajurit Kopassus yang dimintai bantuan, tapi juga dari BIA. Buktinya, dalam kasus Andi Arif.  Sebab, yang menyerahkan Andi ke polisi adalah aparat BIA.  Nah, para prajurit ini kemudian menangkap para aktivis yang namanya tercantum dalam daftar pencarian orang (DPO) yang dikeluarkan Kodam.
Jadi, “Perintahnya adalah penangkapan, bukan penculikan. Dan Wiranto tahu itu,” ujar Fadli. Adapun mengenai penganiayaan aktivis yang ditangkap, menurut Fadli, hal itu disebabkan tak ada sistem yang mengatur. Misalnya saja tidak ada UU intelijen. Toh, menurutnya, tindakan anak buah Prabowo masih lumayan. Sebab, “Kalau di masa lalu, mana ada korban penculikan yang kembali selamat. Sekarang mereka malah diberi uang untuk makan dan ongkos kendaraan,” ujarnya.
Sumber: Buku Putih Prabowo
Sumber : http://faktasebenarnya.com/prabowo-subianto-membunuh-beberapa-aktivis-98/

Post a Comment